Sejarah Singkat dan Moderasi Beragama Suku Madura dan Toraja

 

Oleh : M. Rozien Abqoriy*


Indonesia adalah bangsa dengan pesona yang tak terhingga. Keanekaragaman wisata, budaya, suku, bahasa, dan dan segalanya, benar-benar menakjubkan. Kali ini, aku bakalan bahas sejarah maupun konsep moderasi beragama oleh suku terkenal dan unik yang ada di Indonesia, namanya Suku Madura dan Tana Toraja.

Ketika berbicara sejarah, kita juga akan berbicara tentang sedikit banyaknya keanekaragamannya termasuk etnis, pada kali ini yaitu Suku Madura yang berprovinsi di Jawa Timur dan Tana Toraja yaitu di provinsi Sulawesi Selatan.

Apakah kalian tahu asal muasal dan Moderasi Beragamanya seperti apa dari orang Madura dan orang Tana Toraja? Berikut penjelasannya.

A. Sejarah Singkat Suku Madura

    Suku Madura merupakan etnis dengan populasi besar di Indonesia jumlahnya sekitar 7,1 juta jiwa. Suku Madura dikenal dengan intonasi bicaranya yang sangat keras dan terdengar kasar. Walaupun begitu, mereka juga dikenal hemat disiplin dan rajin bekerja. Selain itu, suku Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang sangat kuat, Harga diri juga paling penting dalam kehidupan orang Madura. 

   Mereka memiliki sebuah peribahasa “Lebih bagus Pote tollang Etembang Pote Matah” yang dalam bahasa Indonesianya (Lebih baik putih tulang, daripada putih mata), yang artinya “lebih baik mati membela harga diri daripada harus mati menanggung malu”. Sifat yang seperti ini melahirkan tradisi carok pada masyarakat Madura. Tetapi, tradisi lambat laun melemah seiring dengan terdidiknya para pemuda Madura sekarang. 

     Menurut seorang akademisi bernama Mardiwarsito, nama Madura berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “permai, molek, indah, jelita, manis, lemah-lembut, dan ramah-tamah”. Ada juga yang menyatakan jika nama Madura diambil dari suatu daerah di India bernama sama yang kebetulan beriklim kering seperti Madura-nya Indonesia.

     Dari Basit ID juga menuliskan bahwa Perjalanan sejarah Madura dimulai dari perjalanan Arya wiraraja sebagai Adipati pertama di Madura pada abad ke-13 dalam Kitab Negarakertagama mengatakan bahwa pulau Madura semula bersatu dengan tanah Jawa. ini menunjukkan, bahwa pada tahun 1300-an orang Madura dan orang Jawa merupakan bagian dari komunitas budaya yang sama.

        Sekitar tahun 900 sampai 500.000 Pulau ini berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Hindu Jawa Timur seperti Kediri Singosari dan Majapahit. diantara tahun 1500-an tahun 1624 para penguasa Madura pada batas tertentu bergantung kepada kerajaan Islam di pantai utara Jawa seperti Demak, Gresik dan Surabaya. Pada tahun 1624 Madura ditaklukkan oleh Mataram sudah itu pada abad ke-18 Madura berada dibawah kekuasaan Kolonial Belanda. Mulai tahun 1882 mula-mulanya oleh VOC kemudian diperintah oleh India Belanda.

       Sejarah mencatat Arya wiraraja adalah Adipati pertama di Madura diangkat oleh raja Kertanegara dari Singosari tanggal 31 okt 1269. pemerintahannya, berpusat di Batu Putih Sumenep merupakan Kraton pertama di Madura.

   Pengangkatan Aria wiraraja sebagai Adipati pertama Madura pada waktu itu diduga berlangsung dengan upacara kebesaran Kerajaan Singosari yang dibawa ke Madura. Seperti yang tercatat dalam sejarah, Perpindahan bangsa-bangsa secara besar-besaran dari Asia Tenggara terjadi pada kurun waktu yang sangat panjang antara 4000 tahun sampai 2000 tahun sebelum masehi.

      Kejadian ini antara lain berasal muasal dari bertambah pesatnya kerajaan-kerajaan Cina karena kepesatan perkembangan kebudayaannya, mereka lalu meluaskan pengaruh kekuasaannya ke arah selatan. Kawasan yang langsung terkena dampaknya adalah wilayah tibet yang merupakan tanah leluhur bangsa BURMA dan daerah Yunan yang semula dihuni orang-orang Thai dan Vietnam.

      Akibatnya, dari mengenainya kedatangan bangsa Cina tersebut, maka bangsa-bangsa Burma Thai dan Vietnam terpaksa menyingkir lebih kearah Selatan. Namun tidak sedikit diantara mereka yang terus ke selatan mengarungi laut ataupun melintasi Semenanjung kemudian menyeberangi Selat hingga mencapai pulau-pulau di nusantara termasuk pulau madura sendiri.

      Kesamaan mereka dengan suku Madura adalah kesukaannya dalam mengkonsumsi ikan kering yang dihasilkan Lalu dibusukkan seperti terasi dan petis atau makanan yang ditapaikan. Persamaan yang mendasar diantara mereka, misalnya kesamaan dalam cara menanam benda-benda umum seperti Padi, pandan, ubi, udang hujan dan batu dan banyak lainnya.

B. Konsep Moderasi Beragama di Madura

     Konsep Moderasi beragama di Madura terbentuk melalui jejaring sosial keagamaan yang dalam hal ini lebih kepada pesantren. Mengingat bahwa di Madura bukan hanya terkenal sebagai pulau dengan kekayaan garamnya, tapi juga pesantren yang pasti ada di setiap daerah, dan ini juga mempunyai peran terhadap peran pesantren, kiai maupun santri, kemudian juga organisasi masyarakat, yang beraneka ragam dan karena lebih mayoritas kepada masyarakat muslim, maka peran moderasi itu muncul Lembaga-lembaga keislaman yang terdapat di Madura. Dalam hal ini juga saya mengutip dari sebuah penelitian oleh Abd Hannan, yang berjudul “Kekuatan Moderasi Beragama di Madura Melalui Jejaring Sosial Keagamaan Pesantren” dari kampus Institut Agama Islam Negeri Madura.

    Dalam banyak kajian ilmu sosial, diskursus seputar keagamaan masyarakat Madura senatiasa mengundang perhatian banyak kalangan, khususnya mereka yang mempunyai ketertarikan pada isu - isu keagamaan kontemporer. 

         Sedangkan tergolong menarik, karena secara keagamaan masyarakat Madura memiliki corak keagamaan tersendiri yang berbeda dengan daerah di Indonesia pada umumnya, yakni tradisionalis. Secara sosiologis, tradisionalisme kagamaan mereka tergambar jelas pada sikap dan perilaku keseharian mereka yang dalam banyak kesempatan mempunyai fanatisme cukup besar terhadap simbol keagamaan, khususnya yang melekat pada kebesaran Kiai, pesantren, dan ormas Islam seperti Nahdhatul Ulama (NU). Dalam kultur keagamaan masyarakat Madura, boleh dibilang ketiganya adalah keagamaan lokal yang mempunyai kedudukan sentral mempengaruhi kehidupan sosial masayarakat setempat. 

       Masyarakat Madura dengan system sosial budaya yang religius. Salah satu bentuk religius mereka ada pada penghormatan besar pada diri mereka terhadap simbolisasi agama beserta segala ajarannya, salah satunya adalah pesantren. Dalam kaitan ini, kedudukan pesantren sebagai lembaga keagamaan tradisional di Madura, dirinya mempunyai peran dan pengaruh sentral dalam mempengaruhi dan membentuk realitas keagamaan masyarakat Madura, termasuk dalam memperkuat nilai-nilai moderasi beragama di Madura, termasuk dalam memperkuat nilai-nilai moderasi di Madura.

        Besarnya peran dan pengaruh pesantren dalam membentuk realitas keislaman di Madura, itu bukan semata karena kedudukan mereka sebagai Lembaga dakwah dan Pendidikan popular berbasis tradisional. Namun juga karena pesantren memiliki perangkat dan modal sosial kuat yang dapat menopang gerak sosial di tengah masyarakat. Modal sosial yang dimaksud adalah jejaring sosial keagamaan, khususnya yang berpusat pada kebesaran nama dan ketokohan Kiai/Nyai, para santri dan keberadaan ormas Islam besar NU. Baik kiai, santri, maupun ormas Islam NU, ketiganya adalah elemen tak terpisahkan dalam diri pesantren, serta mempunyai peran fundamental menjalankan fungsi dakwah dan Pendidikan pesantren.

     Pentingnya penggunaan jejaring sosial keagamaan pesantren (Kiai, santri, dan ormas Islam NU) dalam Upaya penguatan moderasi beragama di Madura, itu dapat dilihat dari tiga aspek, 1). Kiai sebagai bagian jejaring sosial keagamaan pesantren di Madura dikenal masayarakat sebagai tokoh agamawan. Dengan ketokohannya tersebut, Kiai mempunyai pengaruh besar membentuk realitas keagamaan masyarakat. Besarnya pengaruh Kiai tercermin jelas dalam kehidupan masyarakat Madura yang senantiasa mengidentifikasi agama mereka pada Kiai, baik dalam pemikiran maupun praktiknya. 2). Sebagai bagian dari jejaring sosial keagamaan pesantren, keberadaan santri memiliki peran cukup strategis. Peran tersebut ada pada eksistenasi mereka yang tersebar luas di banyak penjuru daerah Madura, mulai dari pedesaan hingga perkotaan. Selain itu, santri tergolong sebagai kelompok masyarakat yang memiliki tingkat kepatuhan dan militansi cukup tinggi kepada Kiai dan pesantren. Dengan sifat dan karakternya tersebut, santri dapat difungsikan sebagai egensi sosial, dalam hal ini adalah menyebarluaskan nilai-nilai keagamaan dalam Upaya memperkuat moderasi agama di tengah masyarakat.

    Selain Kiai dan santri, jejaring sosial keagamaan pesantren selanjutnya adalah organisasi keagamaan, dalam hal ini adalah NU. Pentingnya penguatan moderasi agama di Madura melalui keberadaan NU, itu dikarenakan mayoritas pesantren di Madura menjalin hubungan cukup dekat dengan NU, baik hunungan secara kelembagaan maupun emosional. Kenyataan bahwa NU memiliki tradisi moderatisme kuat, itu secara langsung akan membantu kalangan dalam memperkuat moderasi agama di Madura. Secara keagamaan, moderatisme NU tercermin jelas dalam prinsip atau kaidah ajaran ahli sunnah wal jamaah (ASWAJA) yang menjadi pondasi keislaman mereka. 

C. Sejarah Singkat Suku Toraja

     Suku Toraja adalah sebuah suku bangsa yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa (di Mamasa disebut juga sebagai suku Mamasa). 

     Asal usul Suku Toraja berasal dari Teluk Tonkin yang terletak di antara Vietnam Utara dan Cina Selatan. Awalnya, imigran asal Teluk Tonkin ini tinggal di wilayah pantai yang ada di Sulawesi, namun mereka pindah ke dataran tinggi yang sampai saat ini masih didiami oleh Suku Toraja.

     Disebutkan juga bahwa masyarakat yang mendiami Tana Toraja ini adalah hasil percampuran dari penduduk lokal yang memang tinggal di dataran tinggi Sulawesi Selatan dengan para imigran dari Teluk Tongkin-Yunnan, Cina Selatan. Mereka berlabuh di sekitar hulu sungai, yakni daerah Enrekang, kemudian membangun permukiman.

   Asal usul dari Suku Toraja ini juga memiliki mitos tersendiri yang sangat melegenda. Konon, leluhur dari Suku Toraja merupakan manusia yang berasal dari nirwana. Masyarakat Toraja percaya bahwa nenek moyang mereka turun dari langit dengan tangga yang berfungsi sebagai alat komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan).

     Kata Toraja sendiri memiliki asal usul. Orang Bugis menyebut Toraja sebagai to riaja yang berarti orang yang berdiam di negeri atas. Orang Luwu menyebutnya sebagai to riajang yang berarti orang yang berdiam di sebelah barat. Sementara pendapat lain menyebutkan bahwa toraja berasal dari dua kata yakni to yang artinya orang dan maraya yang artinya besar/bangsawan.

Masyarakat Suku Toraja terdiri dari dua kelompok sosial, 

1). Keluarga, adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.

      Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.

2). Kelas Sosial, dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.

      Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerakan sosial yang dapat mempengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.

 Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

     Adapun kepercayaan yang masih kental dan masih terbilang kuat adalah menganut kepercayaan Aluk To Dolo. Dalam buku Tongkonan Mahakarya Arsitektur Tradisional Suku Toraja (2017) oleh Weni Rahayu menyebutkan bahwa Aluk Todolo merupakan agama/aturan dari leluhur yang diturunkan dari generasi ke generasi oleh Sang Pencipta yakni Puang Matua.

  Dalam kepercayaan ini manusia diwajibkan menyembah, memuja, dan memuliakan Puang Matua dengan melakukan ritual, antara lain sajian, persembahan, dan upacara-upacara. Biasanya suku Toraja memberikan babi ataupun ayam sebagai persembahan kepada para Dewata atau Dewa sebagai pemelihara utusan Puang Matua. Upacara-upacara adat lain yang sering dilakukan oleh Suku Toraja ialah rambu solo yang merupakan upacara adat pemakaman dan rambu tuka yang merupakan upacara untuk merenovasi rumah adat.

D. Konsep Moderasi Beragama Tana Toraja

       Tana Toraja dikenal sebagai lokasi tujuan wisata budaya. Selain itu, di Tana Toraja pun sangat terkenal dengan tingkat toleransi antarumat beragama yang tinggi. Dengan toleransi antarumat yang sudah mendarah daging membuat Tana Toraja sudah melakukan pencegahan dan tangkal radikalisme dan terorisme sejak dahulu.

    Dalam kehidupan masyarakat Tana Toraja, hidup satu rumah dengan keyakinan yang berbeda adalah hal biasa. Sehingga, setiap masing-masing pemegang keyakinan pun tak saling mempersalahkan, tapi justru berdampingan dan saling mengingatkan. Oleh karena itu, Upaya mencegah paham radikalisme akan cukup sulit untuk masuk dikarenakan cegah tangkal sudah mandarah daging di Tana Toraja.

     Dari beberapa sumber menyatakan bahwa Tana Toraja didiami oleh kurang lebih 600 ribu jiwa penduduk yang dibagi dua kabupaten yakni Kabupaten Toraja Utara dan Tana Toraja. Pemeluk agama pun mayoritas Nasrani. Namun, tak ada gesekan yang menyebabkan intoleransi bahkan memunculkan bibit radikalisme hingga terorisme.

      Kebiasaan yang terlestarikan disana yang dapat sangat menjaga intoleransi adalah keharmonisan yang mereka bangun seperti dalam satu rumah saja ada Kristen, Hindu, Katolik dan Islam. Upaya itu yang dapat memberikan kekuatan untuk menjaga dari intoleransi. Penduduk Tana Toraja sejak awal sudah sangat menjaga adat dan budaya. Termasuk dengan saling menghargai dan tenggang rasa antar pemeluk agama. Dari hal itu, pemerintah setempat di Tana Toraja sudah selalu menjadi tanggung jawab untuk merawat keharmonisan tersebut dengan selalu melestarikan kebudayaan-kebudayaannya, dan memastikan antar umat beragama tetap hidup berdampingan. 

   Dengan menjaga warisan kekayaan budaya tersebut, yakni hidup saling berdampingan antar pemeluk agama. Maka, diyakini hal yang memunculkan intoleransi hingga mencegah radikalisme bahkan terorisme bisa dicegah.

     Meskipun telah terpupuk sejak awal rasa tolenrasi di Tana Toraja untuk mencegah radikalisme dan terorisme. Pihak pemerintah setempatnya terus mengupayakan untuk menanamkan wawasan kebhinekaan dan Kemudian, menanamkan wawasan kebangsaan dari Kabupaten hingga setiap pelosok atau desa yang ada. Tak hanya itu, untuk makin menguatkan dengan melalui setiap ada peristiwa besar di Ibu Kota yang menyinggung perihal agama masyarakat Tana Toraja, bersama pemerintah dan aparat merapatkan barisan. Tujuannya, agar semua elemen pemeluk agama di Tana Toraja tak terpengaruh aksi yang terjadi di pusat pemerintahan.




Daftar Pustaka :

(Sumber : Basith ID,“Asal Usul Suku Madura” Pojok Pedia)

Yanwar Pribadi, Islam, State and Society in Indonesia; Local Politics in Madura (New York:Routledge, 2018); Abd Hannan and Kudrat Abdillah, ‘Hegemoni Religio-Kekuasaan dan Transformasi Sosial’, Jurnal Sosial Budaya 16, no. 1 (2019): 16

Abd Hannan, ‘Fanatisme Komunitas Pesantren NU Miftahul Ulum dan Stigma Sosial pada Muhammadiyah di Kabupaten Pamekasan’, 2017, 12; koentjaraningrat “Madurese”. In Ethnic Group of Insular Southeast Asia Vol. 1: Indonesia, Andaman Islands and Madagascar (New Haven CT: Human Relations Area Files Press, 1972). 

Tana Toraja Official Website

Website Viral Food Trave “Suku Toraja, Mengenal Asal Usul, Sejarah, Budayanya Yuk!” 9 Juli 2021

Samhis Setiawan,“Sejarah Suku Toraja”, Gurupendidikan.com, 27 Mei 2023.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Isak yang Tertahan di Penghujung Jalan Cerita : teruntuk Fajar

Opini; Pohon Pisang Sebagai Simbol Perlawanan?