Isak yang Tertahan di Penghujung Jalan Cerita : teruntuk Fajar

 


Oleh : Lail


Barangkali aku bisa bisikkan puisi yang terus membuncah di dadaku. Mencari rumah yang mereka inginkan hangat. Kamu. 

1/

Kurasa aku terlambat menyadari bahwa kehidupan cinta layaknya pasang surut air laut. Hari ini pasang, besok dengan mudah bisa surut, meninggalkan pasir-pasir yang kehilangan harapannya. Barangkali serupa kisah kita, yang kini kupaksa untuk surut dan meniada. Matamu yang dulu dipenuhi binar, telah berubah menjadi malam yang pekat. 

Kini, episode tentang kita memang telah tamat, tapi sajakku tak pernah berakhir. Dengarkanlah. 

2/

Aku mengenalmu yang sehangat mentari pagi. Engkau pun laksana bunga-bunga bermekaran di taman sore, mengantarkan senja kembali ke peraduannya dengan indah. Tiap kali kamu berkelindan dalam ingat, aku tersenyum sembari memohon pada Tuhan untuk bahagiamu, dan juga ... agar aku bisa selalu di sisimu.

Aku tak pernah lupa, bagaimana raut wajahmu ketika menemukanku dalam tangis. Ada yang tertahan tepat di manik matamu, seolah ingin mengatakan bahwa sakitku tak seberapa. Bahwa sakitku, juga menjadi milikmu dan bahkan berlipat.

Pun tawaku, kamu senantiasa melukisnya dengan kasih. Tak pernah bosan. Di jalanan, di gedung-gedung kampus, di hiruk pikuk kota, hingga di kedalaman birunya laut — tempat aku dan kamu menjadi kita.

Sayangnya, takdir tak pernah mau tau tentang rasa manusia. Ia hadir serupa bintang jatuh, tak pernah terduga. 

3/

Romeo dan juliet, Rama dan Sinta, Qais dan Layla. Sama seperti kisah cinta yang melegenda itu, selalu kusaksikan isak yang tertahan di penghujung jalan cerita.

Engkau pun memutuskan untuk berangkat, sedang aku masih menyusun duka paling nisbi. Entah dendam, entah rindu. Namun, aku sepenuhnya demam saat mengenalmu. Maka, tetap kuantarkan kepergianmu dengan luka yang sejujurnya tak mampu untuk kuramu.

Kemudian aku berusaha untuk mencari jalanku sendiri. Namun, aku tersesat. Aku kehilangan arah. Kulihat kota-kota asing, di penghujungnya kutemui musim dingin yang panjang tak henti. Sampai detik ini pun, aku tak pernah sampai pada jantung kota, di jantungmu. 

"Sesepi inikah jalan kembali?"

Tetaplah Fajar ... Kamu serupa itu.

Kita cuma perlu bersepakat tentang masa-masa yang kini kusebut rindu. Sejak bait-bait telah pergi dari halaman buku, kita hanya bisa menyusun kecemasan dari balik pintu. Kau bisu, aku pun bisu. Namun, sampai kapanpun kita tidak bisa membohongi apa yang terselip di sudut hati. 

Meski pada akhirnya, perihal perjamuan kita tempo lalu, barangkali aku disuguhkan haram rindu esok hari.


#Penulis merupakan Penulis dan bagian keluarga dari Komunitas PMP

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Singkat dan Moderasi Beragama Suku Madura dan Toraja

Opini; Pohon Pisang Sebagai Simbol Perlawanan?