Tentang Ingatan yang Tak Kunjung Pudar: Teruntuk Senja

 


Karya : EL



Seringkali rindu merebak tak tau aturan. Sekali lagi, kembali aku dibuat terpana olehnya, sosok yang kusebut cinta.

1/

Masih jelas dalam ingat, hari di mana aku menemukan sosokmu di tengah senja yang memerah. Engkau duduk menatap dengan syahdu laut biru yang mulai membias jingga, di pangkuanmu terdapat seonggok buku bersampul warna putih. Cantik. Bahkan, senja kala itu hanya mengintip di sela-sela angin. Teramat iri pada anggun yang terpancar di manik matamu.

Kamu menoleh ke arahku, meninggalkan tanda tanya di sudut tatapanmu. Aku tersenyum kikuk, seolah tertangkap basah tengah mencuri ranum bibirmu. Tetap saja, aku tak bisa berpaling. Kusaksikan jilbab panjangmu yang makin berkibar diterpa angin, membawa ribuan rindu yang entah dari mana. Barangkali dari kapal yang tertambat di pelabuhan, atau dari buih yang tak kunjung memusnah.

2/

Kata orang: pertemuan pertama menyisakan rasa penasaran, pertemuan kedua menyisakan rasa rindu, dan pertemuan ketiga menciptakan rasa ingin memiliki. Sekarang, aku paham hal itu. Bahkan, aku sepenuhnya dibuat rindu di detik pertama kutemukan sosokmu. Tak kugunakan majas hiperbola di sajakku kali ini. Sungguh. 

Bahagiaku terlalu membuncah. Sejak engkau sebut namamu di tengah bisingnya deburan ombak, aku bersumpah ... bahwa kamu adalah satu-satunya perempuan yang ingin kumiliki dengan gigih.

3/

Aku meratap di sudut kamar kecilku, di balkon tempat senja menguarkan merah jingganya. Bagaimana aku bisa melupa? Jika selalu terukir di manapun kakiku berpijak.

Aku paham betul, yang menawarkan indah di awal memang rentan menjadi luka-luka di tengah perjalanan, hinga menjelma bekas di akhir. Aku bebal. Mengatasnamakan itu adalah cinta, padahal egoku saja yang menolak cerdas. Menjadi budak dari rasa yang naas.

“Kini setelah kau sakit-sakitan, siapa yang akan kau jadikan tumpuan dan tujuan?”

4/

Dari waktu ke waktu, hanya hadirmu yang mencipta nyeri di hati, sekaligus bahagia dalam jiwa. Tualangku tak pernah menjumpai ujungnya. Aku semakin terperosok dalam jurang gelap yang menengelamkan. Ragaku mungkin terlihat baik-baik saja, tetapi di dalamnya penuh lebam-lebam yang menghitam.

Kau tau?

Selepas hari itu, sesekali aku masih menjelajah lalu. Menemukan merah senja di sana. Tawa yang tertinggal, luka yang tertahan, dan ingatan yang tak kunjung pudar. Aku pernah nyaman dengan segala hal, untuk kemudian melepaskan tanpa asal muasal.

Sebab, aku tersadar bahwa hidup memang perihal memilih dan takdir perihal apa yang terjadi. Kita mencoba saling lupa, itu hidup. Aku yang selalu mencintaimu adalah takdir.

Epilog:

Kala senja kembali memerah 100 tahun lagi, kuharap tetap kutemukan senyummu yang merekah seperti pertama kali kita bertemu. Tepat di manik matamu, ingin kutikam ribuan hujan rindu yang dingin. Aku tetap di sini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Isak yang Tertahan di Penghujung Jalan Cerita : teruntuk Fajar

Sejarah Singkat dan Moderasi Beragama Suku Madura dan Toraja

Opini; Pohon Pisang Sebagai Simbol Perlawanan?